Talaud, sebuah nama yang selama ini harus saya akui hanyalah “sosok” yang lamat-lamat saja masuk dalam perbendaharaan pengetahuan. Selama ini seandainya ada orang bertanya kepada saya tentang Talaud, pastilah saya hanya mampu menjawab bahwa Talaud adalah kepulauan terluar di Indonesia yang terletak di Sulawesi Utara yang perbatasan dengan Filipina. Itu saja! Beruntunglah, bulan April 2017, Badan Bahasa meminta saya untuk berpartisipasi dalam program Sastrawan Berkarya. Program yang memiliki tujuan mulia untuk menulis, mengupas, dan “mempropagandakan” kawasan 3 T (terluar, terdepan, terpencil) di Indonesia. Tentu saja tanpa berpikir telampau panjang saya menerima tawaran ini. Jadilah saya melakukan “riset” dalam waktu yang pendek (27 hari) di Talaud: melihat, mengamati, mendengar, dan terlibat di kehidupan sosial budaya masyarakat Talaud. Pendek kata tugas saya nyemplung total ke masyarakat Talaud. Jadilah dalam waktu pendek ini saya sedikit mengetahui “isi” dari Talaud yang memesona dan hasilnya adalah buku ini.Namun, hasil yang lebih “dahsyat” lagi bagi saya pribadi sepulang xii dari Talaud adalah kecintaan saya pada negeri tercinta ini meningkat. Sungguh Indonesia kita ini teramat kaya dan memiliki potensi menjadi bangsa yang digdaya seantero jagat. Sekaligus tumbuh pula rasa malu yang diam-diam merambati hati bahwa selama ini kita (tepatnya saya) abai terhadap kekayaan yang telah diberikan Tuhan pada tumpah darah ini. Maka boleh juga dianggap, buku kecil ini lahir sebagai ungkapan permohonan maaf dari seorang penyair sastrawan warga negara Indonesia yang selama ini luput dan kurang memberi perhatian untuk “halaman depan” rumah Indonesia kita.